Sunday 17 January 2016

Aku Menangis Enam Kali Untuk Adik Ku



Aku dilahirkan di sebuah desa pegunungan yang terpencil. Hari demi hari, orangtuaku membajak tanah kering kuning, dengan punggung mereka menghadap ke langit. Aku punya seorang adik laki-laki.

Suatu ketika, untuk membeli sapu tangan yang dibawa gadis-gadis di desaku, aku mencuri 50 sen dari laci papaku. Papa segera mengetahuinya. Papa menyuruh aku dan adikku berlutut, dengan tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?!” tanya Papa. Aku terpaku, terlalu takut untuk bicara. Papa tidak mendengar kami mengaku, lantas Papa berkata, “Baiklah, kalau begitu, kalian memang pantas dihajar!” Papa mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi.


Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangan Papa dan berkata, “Aku yang ambil uang Papa!” Tongkat panjang itu pun menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Papa begitu murka sehingga ia terus memukul sampai kehabisan napas. Sesudahnya, Papa duduk di atas ranjang dan memarahi adikku, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, perbuatan memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan kalau kamu besar nanti?! Kamu pantas dipukul sampai mati! Dasar pencuri tak tahu malu!”


Malam itu, Mama dan aku mendekap adikku. Tubuhnya penuh luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Aku mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi, kan sudah berlalu.”


Aku masih membenci diriku karena tidak memiliki cukup nyali untuk mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi kejadian itu masih terasa seperti kemarin. Aku tidak pernah lupa wajah adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku 8 tahun. Aku 11.


Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di ibukota kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima di universitas provinsi. Malam itu, aku mendengar Papa berkeluh, “Prestasi anak-anak kita bagus sekali... bagus sekali....” Mama mengusap air mata dan menghela napas, “Tapi buat apa? Mana kita mampu membiayai keduanya sekaligus?”


Saat itu, adikku maju ke hadapan Papa dan berkata, “Papa, aku tidak mau lanjut sekolah. Aku sudah cukup baca banyak buku.” Papa menampar wajah adikku. “Kenapa mentalmu parah begini?! Sekalipun Papa harus mengemis, Papa akan menyekolahkan kalian berdua sampai tamat!”



Dan memang, Papa mengetuk setiap rumah di desa itu untuk meminjam uang. Aku mengelus wajah adikku yang membengkak, dan berkata, “Anak laki-laki harus terus sekolah; kalau tidak, dia tidak akan meninggalkan jurang kemiskinan.” Aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah.


Siapa sangka esok harinya, sebelum fajar datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang kering. Dia menyelinap ke kamarku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas itu tidak mudah. Aku pergi cari kerja dan akan kirim uang untuk Kakak.” Aku menggengam surat itu dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Waktu itu, adikku 17 tahun. Aku 20.


Dengan uang yang Papa pinjam dari warga desa, dan uang yang adikku hasilkan dari memanggul semen di proyek bangunan, aku akhirnya sampai ke tingkat ketiga di universitas.


Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahu, “Ada orang desa menunggumu di luar.” Mengapa ada orang desa mencariku? Aku keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor terselimuti debu semen dan pasir.


Aku menanyainya, “Mengapa kamu tidak bilang kepada temanku bahwa kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat, bagaimana penampilanku? Apa kata mereka jika tahu aku ini adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku terenyuh, dan air mata menggenangi mataku. Aku mengusap debu dari tubuh adikku, dan tersekat dalam kata-kata, “Aku tak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku, bagaimanapun penampilanmu!”


Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikan di rambutku, dan menjelaskan, “Kulihat semua gadis kota memakai ini. Jadi kurasa kamu juga harus punya satu.” Aku tak sanggup menahan diri lebih lama. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis. Waktu itu, adikku 20 tahun. Aku 23.


Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti dan tampak bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan Mama. “Mama tidak usah repot-repot membersihkan rumah.” Namun kata Mama sambil tersenyum, “Adikmu pulang awal untuk membersihkan rumah. Ia sampai terluka ketika memasang kaca itu.”


Aku masuk ke kamar adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya. “Pasti sakit ya?” tanyaku. “Tidak, tidak sakit. Waktu aku bekerja di proyek, batu-batu sering berjatuhan di kakiku. Itu pun tidak menghentikanku bekerja dan....” Di tengah kalimat itu, ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya. Air mata mencucur deras di wajahku. Waktu itu, adikku 23 tahun. Aku 26.


Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Aku dan suamiku sering mengundang orangtuaku untuk tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau datang. Mereka bilang, kalau pergi dari desa, mereka tidak tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga Mama dan Papa di desa.”


Suamiku baru menjadi direktur di pabriknya. Kami ingin adikku mendapat pekerjaan sebagai manajer di Bagian Pemeliharaan, tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras untuk mulai bekerja sebagai tenaga reparasi saja.


Suatu hari, adikku berada di atas tangga untuk memperbaiki kabel, ketika ia tersengat listrik, dan masuk rumah sakit. Aku dan suamiku pergi menjenguknya. Melihat gips putih di kakinya, aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak jadi manajer? Manajer tidak harus melakukan pekerjaan berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang! Lukamu serius sekali! Kenapa kamu tidak mendengarkan kami?”



Dengan mimik serius, ia menjelaskan, “Pikirkanlah kakak ipar. Ia baru saja jadi direktur, dan pendidikanku tidak tinggi. Jika aku jadi manajer, apa kata orang-orang?”


Mata suamiku berlinang air mata. Aku terbata, “Tapi kamu kurang pendidikan kan gara-gara aku.” Adikku menyela, “Kenapa membicarakan masa lalu?” seraya menggenggam tanganku. Waktu itu, adikku 26 tahun. Aku 29.


Adikku berusia 30 ketika menikahi seorang gadis petani dari desa kami. Dalam pernikahannya, pembawa acara bertanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan sayangi?” Tanpa berpikir sedikit pun, adikku menjawab, “Kakakku.”


Ia lalu menuturkan cerita yang bahkan tak dapat kuingat. “Ketika aku pergi sekolah, sekolah itu ada di desa lain. Setiap hari aku dan kakakku berjalan dua jam untuk ke sekolah dan pulang. Suatu hari, aku kehilangan satu sarung tanganku. Kakak memberikan satu sarung tangannya. Ia hanya memakai satu saja. Ketika kami tiba di rumah, tangannya gemetaran karena cuaca yang sangat dingin sampai ia tidak bisa memegang sumpitnya. Sejak itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakak!”


Tepuk tangan menggemuruhi ruangan itu. Semua tamu berpaling ke arahku. Dengan terisak, kuucapkan, “Dalam hidupku, orang yang paling aku terima kasihi, adalah adikku....” Dalam kesempatan yang sungguh mengharukan ini, air mataku pun bercucuran seperti sungai.

No comments:

Post a Comment